Jumat, 07 Juni 2013

PERBANDINGAN PENYELENGGARAAN PEMILU LEGISLATIF ERA ORDE BARU DAN ERA REFORMASI DI INDONESIA


BAB I
PENDAHULUAN
A.           Latar Belakang
Negara Indonesia sejak kemerdekaan menurut catatan sejarah telah melakukan pemilihan umum legislatif sebanyak sepuluh kali. Pemilu-pemilu tersebut dilaksanakan dengan tiga rezim penguasa yang berbeda, yaitu masa orde lama, masa orde baru, dan masa reformasi. Pemilu tahun 1955 merupakan pemilu satu-satunya yang diadakan pada masa orde lama, kemudian pemilu tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997 adalah pemilu yang diadakan pada masa orba. Sedangkan pemilu 1999, 2004, dan 2009 adalah pemilu yang diadakan pada masa reformasi.
Penyelenggaraan pemilu pada masa orba adalah pemilu yang diselenggarakan pada masa kekuasaan Presiden Soeharto. Sedangkan pemilu masa reformasi adalah pemilu yang diselenggarakan setelah rezim Soeharto runtuh yang diakibatkan oleh gerakan mahasiswa tahun 1997-1998. Melihat catatan sejarah penyelenggaraan pemilu, maka terlihat bahwa pemilu lebih banyak diadakan ketika masa orba dan masa reformasi.
Seperti yang kita ketahui bahwa pada masa orba dikenal juga dengan masa pemerintahan yang otoriter, dimana sang penguasa yang duduk di eksekutif mempunyai peran penuh terhadap kendali pemerintahan termasuk juga dalam sistem pemilu yang dilaksanakan pada masa itu. Sedangkan masa reformasi dikenal juga dengan masa kebebasan berpendapat, dan tentu saja juga berimplikasi pada sistem pemilihan umum.
Berdasarkan pemaparan tersebut, maka penulis tertarik hati untuk membandingkan penyelenggaraan pemilihan umum pada masa orba dan masa reformasi. Adapun pertimbangan utama penulis tertarik melakukan perbandingan ini yaitu, pertama penyelenggaraan pemilu pada dua rezim ini merupakan penyelenggaraan pemilu terbanyak. Kedua, masa orba dan masa reformasi mempunyai karakter yang bertolak belakang, sehingga implikasi terhadap sistem pemilu juga berbeda.
B.            Rumusan Masalah
Berdasarkan pemaparan yang telah penulis lakukan dimuka, maka rumusan masalah penelitian ini adalah bagaimana perbandingan sistem pemilu legislatif pada masa orde baru dan masa reformasi?
C.            Tujuan
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbandingan penyelenggaraan pemilu legislatif pada masa orde baru dan masa reformasi.
D.           Konsep Teori
D.1. Definisi Pemilihan Umum
Menurut Joseph Schumpeter pemilu merupakan sebuah arena yang mewadahi kompetisi (kontestasi) antara aktor-aktor politik yang meraih kekuasaan partisipasi politik rakyat untuk menentukan pilihan serta liberalisasi hak-hak sipil dan politik warga negara (dalam P. Anthonius Sitepu, 2012; 177). Sementara itu Ali Murtopo menyatakan bahwa pemilu adalah sarana yang tersedia bagi rakyat untuk menjalankan kedaulatannya dan merupakan lembaga demokrasi. Kemudian menurut Manuel Kaisepo pemilu memang telah menjadi tradisi penting dalam berbagai sistem politik di dunia, penting karena berfungsi memberi legitimasi atas kekuasaan yang ada dan bagi rezim baru, dukungan dan legitimasi inilah yang dicari ( dalam Bismar Arianto, 2011).
D.2. Sistem Pemilihan Umum
Sistem pemilihan umum secara sederhana adalah instrumen untuk menterjemahkan perolehan suara di dalam pemilu ke dalam kursi-kursi yang dimenangkan oleh partai atau calon. Dalam ilmu politik, sistem pemilihan umum (pemili) diartikan sebagai satu kumpulan metoda atu cara warga masyarakat memilih para wakil mereka. Menurut Gafar, manakala sebuah lembaga perwakilan (DPR, DPRD, dan DPD) dipilih, maka sistem pemilihan menstransfer jumlah suara kedalam jumlah kursi (dalam P Anthonius Sitepu, 2012; 180). Sistem pemilu secara umum dapat dibagi kedalam dua macam yaitu sistem distrik dan sistem proporsional ( Kacung Marijan ; 2010; 83).
Sistem pemilihan distrik adalah sistem dimana satu daerah pemilihan memilih satu wakil atau dikenal juga dengan sebutan single member constituency. Sedangkan sistem proporsional adalah sistem pemilihan dimana dari satu daerah pemilihan memilih beberapa wakil atau dengan kata lain adalah multi member constituency.
Secara umum, terdapat empat rumpun keluarga di dalam sistem pemilu, yaitu sistem pluralitas atau mayoritas, sistem perwakilan proporsional, sistem campuran, dan sistem-sistem yang lain. Di Indonesia sistem yang pertama lebih dikenal dengan sistem distrik, karena transfer perolehan suara kedalam perolehan kursi lebih didasarkan pada distrik atau daerah pemilihan.
Dalam rumpun distrik, terdapat lima macam variasi sistem pemilu yaitu:
a.       First past the post ( FPTP)
Sistem ini menggunakan single member district dan pemilihan yang berpusat pada calon. Pemenangnya adalah calon yang memiliki suara terbanyak.
b.      Two round system (TRS)
Sistem ini memakai putaran kedua sebagai landasan untuk menentukan pemenang pemilu, jika pada putaran pertama tidak ada pemenang mayoritas.
c.       The alternative vote (AV)
Sistem ini sama dengan FPTP, namun pemilih diberi kebebasan untuk menentukan preferensinya kepada calon yang ada, calon preferensi terbanyak dari pemilih yang menjadi pemenangnya.
d.      Block vote (BV)
Dalam sistem ini para pemilih memiliki kebebasan untuk memilih calon-calon individu yang terdapat di dalam daftar calon,tanpa melihat afiliasi partai dari calon-calon tersebut.
e.       Party block vote (PBV)
Sistem ini mempunyai prinsip yang sama dengan BV, namun yang menjadi pijakan adalah daftar partai-partai yang ada, bukan calon individu.
Rumpun kedua adalah sistem proporsional. Dalam rumpun ini terdapat dua variasi dalam pemilihan, yaitu:
a.       List proportional representation (ListPR)
Di dalam sistem ini partai-partai peserta pemilu menunjukkan daftar calon yang diajukan. Para pemilih cukup memilih partai. Alokasi kursi dari partai yang memperolehnya didasarkan pada daftar urut yang sudah ada.
b.      Single transverable vote (STV)
Dalam sistem ini, para pemilih diberi otoritas untuk menentukan preferensinya. Adapun pemenangnya didasarkan pada penggunaan kuota.
Rumpun ketiga adalah sistem campuran (mixed system). Dalam rumpun ini terdapat dua variasi pemilihan, yaitu:

a.       Mixed member prortional (MMP)
Dalam sistem ini, sistem proporsional dipakai sebagai upaya untuk memberi kompensasi pada adanya disproporsionalitas yang dihasilkan oleh pembagian kursi berdasarkan distrik.
b.      Parallel system
Pada sistem ini, dua sistem yaitu sistem PR dan distrik dijalankan bersama-sama. Tetapi proses perhitungan suaranya berjalan sendiri-sendiri.
Selanjutnya rumpun keempat terdiri dari:
a.       Single nontransferable vote (SNTV)
Pada sistem ini penentuan pemenang di dalam multimember district ditentukan berdasarkan calaon-calon (partai) yang memperoleh suara terbanyak.
b.      Limited vote (LV)
Dalam sistem ini para pemilih memiliki suara lebih dari satu meskipun lebih kecil dari calon-calon yang bisa dipilih.
c.       Borda count (BC)
Pada sistem ini bisa menggunakan single member district maupun multimember district. Para pemilih bisa memberikan preferensinya melalui nomor urut. Pemenang adalah calon yang mempunyai preferensi tertinggi.
Tabel 1.1
Kelebihan dan Kekurangan dari Sejumlah Sistem Pemilu
Sistem Pemilu
Kelebihan
Kekurangan
List Proportional
Representation
·    Proporsionalitas.
·    Inklusivitas.
·    Keterwakilan minoritas.
·    Sedikit suara terbuang.
·    Mudah bagi perempuan terwakili.
·    Tidak (kurang) perlu adanya batas-batas.
·    Mengurangi tumbuhnya par-tai tunggal di suatu daerah.
·    Memungkinkan tingginya turnout (jumlah orang yang datan ke TPS)
·      Lemah dalam keterwakilan wilayah.
·      Kurangnya isu akuntabilitas.
·      Cenderung melemahnya duku-ngan legislatif kepada presiden di dalam sistem presidensial.
·      Cenderung munculnya peme-rintahan koalisi atau minoritas di dalam sistem parlementer.
·      Banyak kekuasaan yang diberikan kepada partai.
·      Dapat merangsang munculnya partai-partai ektrem atau eksklusif di legislatif.
·      Tidak mampu menyingkirkan partai dari kekuasaan
First Past
 the Post
·  Kuat dalam keterwakilan wilayah.
·  Mudah terdapatnya akun-tabilitas.
·   Mudah dipahami.
·  Menawarkan pilihan yang jelas kepada pemilih.
·  Mendorong terjadinya opo-sisi yang koheren.
·  Mengeluarkan partai-partai ekstrem.
·  Memungkinkan pemilih me-milih calon-calon yang jelas.
·  Dimungkinkannya legislatif yang kuat di dalam men-dukung presiden di dalam sistem presidensial.
·  Dimungkinkan adanya  pe-merintahan mayoritas di dalam sistem parlementer. 
·       Tersingkirnya partai-partai minoritas.
·       Tersingkirnya kelompok-kelompok minoritas.
·       Tersingkirnya perempuan.
·       Banyak suara yang terbuang
Two-Round
System
·  Adanya kesempatan kepada pemilih untuk membuat pilihan kedua.
·  Berkurangnya suara yang terpecah kalau dibandingkan dengan sistem pluralitas/ mayoritas lain.
·  Mudah dipahami.
·  Kuat dalam keterwakilan wilayah.
·      Jarak waktu yang lama antara hari pemilihan dan hasiil pemilihan.
·      Munculnya disproporsionali-tas.
·      Memungkinkan adanya sistem kepartaian yang ter-fragmentasi.
·      Memungkinkan adanya ketidakstabilan di dalam masyarakat yang benar-benar terbelah.
Parallel System
·   Inklusivitas.
·   Keterwakilan minoritas.
·   Berkurangnya fragmentasi sistem kepartaian daripada di dalam list PR.
·   Mudahnya dicapai kesepa-katan daripada alternatif- alternatif lain.
·   Akuntabilitas.
·   Sedikit suara hilang.
·      Adanya sistem yang rumit.
·      Dapat menciptakan dua kelas di dalam perwakilan.
·      Tidak adanya jaminan bagi adanya proporsionalitas secara keseluruhan.
Mixed Member
Proporsional
·  Proporsionalitas.
·  Inklusivitas.
·  Keterwakilan wilayah.
·  Akuntabilitas.
·  Sedikit suara yang terbuang.
·  Mudahnya dicapai kesepa-katan daripada alternatif-alternatif lain.
·   Adanya sistem yang rumit.
·   Dapat menciptakan dua kelas di dalam perwakilan.
Sumber : dalam Kacung Marijan 2010, hal 89-90





BAB II
PERBANDINGAN PENYELENGGARAAN PEMILU LEGISLATIF
 ERA ORDE BARU DAN ERA REFORMASI DI INDONESIA

Pemilihan umum (pemilu) merupakan sebuah arena untuk membentuk demokrasi perwakilan serta menggelar pergantian pemerintahan secara berkala. Indonesia sendiri sejak kemerdekaannya telah melakukan pemilihan umum sebanyak 10 kali, dengan rincian 1 kali pada masa orde lama, 6 kali pada masa orde baru, dan 3 kali pada masa reformasi. Pokok bahasan pada makalah ini akan membandingkan pada lima hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemilu legislatif era orde baru dan era reformasi.
Peratama adalah dasar hukum yang dipakai pada kedua era ini. Kedua adalah badan penyelenggara pemilu. Ketiga adalah sistem pemilu yang dipakai untuk mengadakan pemilu. Keempat adalah jumlah partai yang mengikuti. Dan yang terakhir adalah ketentuan memilih dalam pemilu.
A.           Dasar Hukum
A.1. Masa Orde Baru
Seperti yang telah dijelaskan dimuka bahwa masa orde baru telah dilakukan pemilihan umum sebanyak enam kali, yaitu tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan tahun 1997. Namun keenam penyelenggaraan pemilu tersebut mempunyai dasar hukum yang berbeda, dikarenakan terjadinya perubahan dan penyesuaian terhadap undang-undang pemilu pada masa itu.
Pada pemilu tahun 1971, dasar hukum yang dipakai negara Indonesia adalah UU No 15 Tahun 1969 Tentang Pemilu. Kemudian pada pemilu tahun 1977, terjadi perubahan dasar hukum dimana pada dasar hukum yang dipakai adalah UU No 4 Tahun 1975 tentang Perubahan Atas UU No 15 Tahun 1969 Tentang Pemilihan Umum Anggota-anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat. Sejak diberlakukannya UU No 4 Tahun 1975, terjadi perbedaan yang signifikan dengan pemilu-pemilu sebelumnya yaitu jumlah partai yang ikut lebih sedikit yaitu hanya dua partai dan satu organisasi sosial. Hal ini dikarenakan Presiden Soeharto dan DPR pada masa itu menyengajakan penyederhanaan partai politik dengan mengeluarkan UU No 3 Tahun 1975 Tentang Partai Politik dan Golkar.
 Selanjutnya pada pemilu tahun 1982, dasar hukum dalam penyelenggaraan pun berubah lagi, yaitu dengan menggunakan UU No 2 Tahun 1980 Tentang Perubahan Atas UU No 15 Tentang Pemilu Anggota-anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat Sebagaimana Telah Diubah dengan UU No 4 Tahun 1975. Kemudian pada pemilu periode tahun 1987, 1992, dan 1997 dasar hukum yang dipakai adalah UU No 1 Tahun 1985 Tentang Perubahan Atas UU No 15 Tentang Pemilu Anggota-anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat Sebagaimana Telah Diubah dengan UU No 3 Tahun 1975 dan UU No 2 Tahun 1980. Adapun perbedaan yang mencolok dari berubahnya dasar hukum ini terlihat pada pasal 8 ayat (4b) dimana panitia pengawas pemilihan umum terdiri dari satu orang ketua yang merangkap menjadi anggota yang dijabat oleh pejabat pemerintah  dan lima orang wakil yang juga merangkap sebagai anggota. Dimana sebelumnya panitia pengawas pemilihan umum hanya terdiri dari satu orang ketua dan satu orang wakil yang juga sama-sama merangkap menjadi anggota dan juga berasal dari kalangan pejabat pemerintah.
Tabel 1.2
Dasar Hukum Pemilu Legislatif Orde baru
No
Pemilu
Dasar Hukum
Perubahan
1
1971
UU No 15 Tahun 1969
-
2
1977
UU No 4 Tahun 1975
Adanya penyederhanaan partai peserta pemilu.
3
1982
UU No 2 Tahun 1980
Adanya penambahan anggota LPU dari unsur parpol, Golkar, dan ABRI. Serta pembentukan panitia pengawas pemilu.
4
1987
UU No 1 Tahun 1985
Adanya penambahan jumlah wakil ketua panitia pengawas pemilu.
5
1992
UU No 1 Tahun 1985
Adanya penambahan jumlah wakil ketua panitia pengawas pemilu.
6
1997
UU No 1 Tahun 1985
Adanya penambahan jumlah wakil ketua panitia pengawas pemilu
Sumber : Olahan Penulis

A.2. Masa Reformasi
Tidak berbeda jauh dengan masa orde baru, pemilu pada masa reformasi juga mengalami perubahan dasar hukum. Hal ini terlihat jelas karena tiga kali pemilu yang diadakan pada masa reformasi berlandaskan dasar hukum  yang berbeda.
Pada pemilu pertama pasca runtuhnya orde baru, yaitu pemilu 1999 menggunakan dasar hukum UU No 3 Tahun 1999 Tentang Pemilihan Umum. Kemudian pada pemilu tahun 2004, dasar hukum yang dipakai adalah UU No 12 tahun 2003 Tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Selanjutnya pada pemilu tahun 2009, dasar hukum yang dipakai adalah UU No 10 Tahun 2008 Tentang  Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD.
B.            Badan Penyelenggara
B.1. Masa Orde Baru
Badan penyelenggara pada pemilu 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997 berdasarkan empat UU yang berlaku pada masa itu yaitu, UU No 15 Tahun 1969, UU No 4 Tahun 1975, UU No 2 Tahun 1980, dan UU No 1 Tahun 1985. Berdasarkan dua UU yang disebutkan pertama tersebut, badan penyelenggara pemilihan umum pada masa orde baru disebut dengan Lembaga Pemilihan Umum (LPU) yang dibentuk oleh Presiden dan diketuai oleh Menteri Dalam Negeri. Dimana ketua dan anggotanya semua berasal dari kalangan pejabat pemerintahan.
   Selanjutnya pada pemilu 1982 yang berdasarkan pada UU No 2 Tahun 1982, badan penyelenggara masih dengan LPU, namun terjadi sedikit perubahan dan penambahan. Merujuk pada pasal 8 ayat (4a) dan (4b) UU No 2 Tahun 1980, perubahan tersebut berupa keanggotaan LPU yang sebelumnya hanya dari kalangan pejabat pemerintah, ditambahkan juga dari unsur partai politik, Golkar, dan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Kemudian pada UU ini juga terdapat penambahan panitia pengawas pemilu di setiap tingkatan daerah pemilihan.
Kemudian pada UU No 1 Tahun 1985 yang merupakan dasar dari pemilu 1987, 1992, dan 1997 juga terjadi perubahan pada jumlah keanggotaan wakil ketua panitia pengawas pemilu. Menurut UU ini jumlah keanggotaan wakil ketua yang sebelumnya 1 orang menjadi 5 orang.


Tabel 1.3
Perbandingan Penyelenggara Pemilu Era Orde Baru
No
Pemilu
Penyelenggara Pemilu
Keterangan
1
1971
LPU
Anggota LPU berasal dari pejabat pemerintah.
2
1977
LPU
Anggota LPU berasal dari pejabat pemerintah.
3
1982
LPU
Anggota LPU berasal dari pejabat pemerintah, unsur partai politik, Golkar, dan ABRI.
4
1987
LPU
Anggota LPU berasal dari pejabat pemerintah, unsur partai politik, Golkar, dan ABRI.
5
1992
LPU
Anggota LPU berasal dari pejabat pemerintah, unsur partai politik, Golkar, dan ABRI.
6
1997
LPU
Anggota LPU berasal dari pejabat pemerintah, unsur partai politik, Golkar, dan ABRI.
Sumber : Olahan Penulis
B.2. Masa Reformasi
Penyelenggaraan pemilu legislatif tahun 1999 diatur melalui UU No 3 tahun 1999 tentang Pemilihan Umum. Dalam UU ini organisasi penyelenggara pemilu diatur mulai dari Bab III Tentang Penyelenggaraan dan Organisasi yaitu dari pasal 8 hingga pasal 23. Secara teknis pada pemilu legislatif tahun 1999 dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum yang bebas dan mandiri, yang terdiri dari atas unsur-unsur partai politik peserta pemilihan umum dan pemerintah, yang bertanggung jawab kepada presiden.
Pemilu legislatif 2004 berpedoman pada UU RI No 12 Tahun 2003 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD.  Pelaksana pemilu diatur dalam Bab IV Penyelengara pemilihan Umum mulai dari pasal 15 hingga pasal 45. Secara teknis yang menyelenggarakan pemilu adalah KPU yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Untuk tingkat pusat KPU berjumlah 11 orang sementara di tingkat provinsi, kabupaten/kota berjumlah 5 orang.
UU No 10 tahun 2008 adalah landasn yuridis pelaksanaan pileg tahun 2009. Pengaturan penyelenggara pemilu pada tahun 2009 diatur mulai dari pasal 9 yang berbunyi pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD kabupaten/kota diselenggarakan oleh KPU.
Tabel 1.4
Perbandingan Penyelenggaraan Pemilu Era Reformasi
No
Pemilu
Penyelenggara Pemilu
Keterangan
1
1999
KPU
Anggota KPU terdiri dari unsur-unsur partai politik peserta pemilihan umum dan pemerintah
2
2004
KPU
Independen dan luar unsur partai dan pemerintah
3
2009
KPU
Independen dan luar unsur partai dan pemerintah
Sumber : Bismar Arianto, 2011
Dari penjelasan singkat mengenai penyelenggara pemilu orde baru dan reformasi terlihat bahwa penyelenggara pemilu pada Orde Baru  Disebut LPU, sementara pemilu pada masa reformasi disebut KPU. Dari sisi keanggotaan, pemilu orde baru terlihat sangat dikekang oleh pemerintah, karena anggotanya lebih banyak melibatkan pejabat pemerintah. Sementara penyelenggara pemilu masa reformasi terutama pemilu 2004 dan 2009 terlihat lebih demokratis, hal ini dikarenakan keanggotaan dari KPU bersifat independen dan diluar unsur partai dan pemerintah.
C.            Sistem Pemilu
Pada masa orde baru merujuk pada UU No 15 tahun 1969 tentang pemilihan umum, pengaturan mengenai sistem pemilu yang dipakai diatur dalam Bab VIII tentang penetapan hasil pemilu pasal 23 ayat 1. Dimana pemilihan legislatif orde baru menggunakan sistem perwakilan berimbang (proposional) daftar tertutup dan hanya menggunakan DP (district magnitude)  propinsi saja.
Sementara itu pada masa reformasi pemilhan umum legislatif tetap menggunakan sistem proposional namun terjadi beberapa modifikasi. Pada pemilu tahun 1999 DP tidak hanya terpaku pada propinsi, tetapi juga sudah memperhatikan kabupaten/kota. Pada pemilu 2004, DP tidak lagi propinsi tetapi meliputi daerah yang lebih kecil lagi, dimana masing-masing DP mendapat jatah 3 sampai 12 kursi. Sementara pemilu 2009 besaran DP untuk DPR diperkecil antara 3 sampai 10 kursi. Pemilu 2004 dan 2009 juga telah menganut sistem proposional daftar terbuka. Namun menurut Nico Harjanto ( dalam Kacung Marijan:2010:94-95) perubahan tersebut tidak sepenuhnya terbuka, melainkan lebih kepada sistem proposional semi daftar terbuka. Hal ini dikarenakan penentuan tentang siapa yang akan mewakili partai di dalam perolehan kursi di DPR/D tidak didasarkan pada perolehan suara terbanyak melainkan tetap berdasarkan nomor urut.
D.           Jumlah Partai
D.1. Masa Orde Baru
Pada pemilu pertama masa orde baru, yaitu pada pemili 1971 jumlah partai yang mengikuti pemilu sebanyak 10 partai. Sementara pada lima pemilu selanjutnya yaitu pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997 peserta pemilu ditetapkan oleh pemerintah hanya tiga, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Demokrasi Indonesia (PDI), dan Golongan Karya (Golkar). Penetapan ini sengaja dibuat oleh Presiden Soeharto melalui UU No 3 Tahun 1975 Tentang Partai Politik dan Golkar. Dimana dalam UU ini yang dimaksud dengan parpol PPP dan PDI sementara organisasi kekuatan sosial politik adalah Golkar. Adapun latar belakang penyederhanaan ini karena adanya pandangan jumlah partai yang cukup banyak merupakan faktor penting bagi munculnya ketidakstabilan politik yang pernah terjadi.
D.2. Masa  Reformasi
Berbeda dengan masa orde baru, pada masa reformasi jumlah partai politik meningkat. Hal ini diakarenakan dianutnya kembali sistem demokrasi di Indonesia. Seperti apa yang dikatakan oleh Scarrow bahwa kemunculan partai-partai berbanding lurus dengan tumbuhnya proses demokratisasi, khususnya yang berkaitan dengan kesamaan hak antar warga negara.
Pada pemilu 1999, jumlah partai yang megikuti pemilihan legislatif berjumlah 48 partai politik. Pada pemilu 2004 diikuti 24 partai politik, dan pemilu tahun 2009 diikuti 41 partai politik nasional dan 6 partai lokal di Aceh.
Dari penjelasan perbandingan jumlah partai pada masa orde baru dan masa reformasi terlihat bahwa pada masa orde baru partai peserta pemilu lebih sedikit dan dibatasi. Hal ini dikarenakan adanya kebijakan Presiden Soeharto melalui UU No 3 Tahun 1975, adan adanya pandangan bahwa sistem multipartai dapat mengganngu kestabilan negara. Sementara itu pada masa reformasi jumlah partai politik pengikut pemilu lebih banyak, hal ini dikarenakan dianutnya kembali keran demkrasi di Indonesia.
E.            Ketentuan Memilih  
E.1. Masa Orde Baru
Pada pemilu masa orde baru, ketentuan cara memilih atau memberikan suara berdasar pada UU No 15 Tahun 1969 yang tercantum pada Bab VII Tentang Pemungutan Suara dan Penghitungan Suara Pasal 21 ayat (6). Menurut ketentuan ini pemilih dapat memberikan suara dengan mencoblos salah satu gambar peserta pemilu.
E.2. Masa Reformasi
Pada pemilu masa reformasi terjadi perubahan dalam memberikan suara kepada peserta pemilu. Pada pemilu 1999, pemilih dapat memberikan suara dengan mencoblos lambang partai dan memilih salah satu calon dari partai yang dipilih. Sementara pada pemilu tahun 2004 dan 2009 selain memilih partai dan calon partai, masyarakat juga memilih anggota DPD yang dilakukan dengan mencoblos salah satu angggota DPD dalam surat suara.
Tabel 1.5
Perbandingan Ketentuan Pemberian Suara Masa Reformasi
No
Pemilu
Yang Dipilih
Keterangan
1
1999
Memilih anggota legislatif dari parpol
Mencoblos lambang partai dan memilih salah satu calon dari partai yang dipilih
2
2004
Partai politik dan perorangan
·  Mencoblos lambang partai dan memilih salah satu calon dari partai yang dipilih.
·  Mencoblos calon perseorangan
3
2009
Partai politik dan perorangan
·  Mencoblos lambang partai dan memilih salah satu calon dari partai yang dipilih.
·  Mencoblos calon perseorangan
Sumber : Bismar Arianto, 2011
Dari penjelasan mengenai ketentuan memilih pada masa orde baru dan masa reformasi terlihat bahwa ada perbedaan. Dimana pada masa orde baru pemilh hanya bisa mencoblos gambar partai, sementara masa reformasi pemilih selain mencoblos gambar partai juga bisa mencoblos calon perseorangan.

























BAB III
PENUTUP
A.           Kesimpulan
Dari hasil studi pustaka maka dapat disimpulkan perbandingan sistem pemilu masa orde baru dan masa reformasi sebagai berikut:
1.             Pada masa orde baru terdapat empat UU yang mengatur Pemilu, sementara pada pemilu reformasi terdapat tiga UU yang mengatur tentang pemilu.
2.             Lembaga Penyelenggara pada pemilu Orba menitikberatkan anggota pada pejabat pemerintah, sedangkan pemilu reformasi anggota lebih independen bebas dari unsur partai dan pemerintah.
3.             Sistem pemilu pada pemilu orde baru menganut sistem proposional tertutup, sementara pemilu reformasi dengan sistem proposional terbuka.
4.             Jumlah partai peserta pemilu orde baru ditentukan pemerintah, sementara pada masa reformasi lebih demokratis.
5.             Ketentuan memilih pada masa orde baru hanya mencoblos gambar partai, sementara pemilu reformasi juga dapat memilih calon perseorangan.
B.            Saran
Dengan adanya perbandingan penyelenggaraan pemilu orde baru dan reformasi ini diharapakan dapat memberikan gambaran agar pelaksanaan pemilu kedepan menjadi lebih baik.
 
DAFTAR PUSTAKA

Arianto, Bismar. Perbandingan Penyelenggaraan Pemilihan Umum legislatif Era Reformasi Di Indonesia. Jurnal Fisip Umrah Vol.2, No.2, 2011: 126-140.
Budiardjo, Mirriam.2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Marijan, Kacung.2010. Sistem Politik Indonesia Konsolidasi Demokrasi Pasca Orde Baru. Jakarta: Kencana.
Sitepu, P.Andrianus.2012.Studi Ilmu Politik.Yogyakarta: Graha Ilmu.
Syafeii, Inu Kencana.2011.Sistem Pemerintahan Indonesia.Jakarta: Rineka Cipta.
UU No 15 Tahun 1969 Tentang Pemilihan Umum
UU No 4 Tahun 1975 tentang Perubahan Atas UU No 15 Tahun 1969 Tentang Pemilihan Umum Anggota-anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat
UU No 2 tahun 1980  Tentang Perubahan Atas UU No 15 Tentang Pemilu Anggota-anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat Sebagaimana Telah Diubah dengan UU No 4 Tahun 1975
UU No 1 Tahun 1985 Tentang Perubahan Atas UU No 15 Tentang Pemilu Anggota-anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat Sebagaimana Telah Diubah dengan UU No 3 Tahun 1975 dan UU No 2 Tahun 1980
 UU No 3 tahun 1999 Tentang Pemilihan Umum
UU No 12 tahun 2003 Tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD
UU No 10 tahun 2008 Tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD

Tidak ada komentar:

Posting Komentar