BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Negara Indonesia
sejak kemerdekaan menurut catatan sejarah telah melakukan pemilihan umum
legislatif sebanyak sepuluh kali. Pemilu-pemilu tersebut dilaksanakan dengan
tiga rezim penguasa yang berbeda, yaitu masa orde lama, masa orde baru, dan
masa reformasi. Pemilu tahun 1955 merupakan pemilu satu-satunya yang diadakan
pada masa orde lama, kemudian pemilu tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan
1997 adalah pemilu yang diadakan pada masa orba. Sedangkan pemilu 1999, 2004, dan
2009 adalah pemilu yang diadakan pada masa reformasi.
Penyelenggaraan
pemilu pada masa orba adalah pemilu yang diselenggarakan pada masa kekuasaan
Presiden Soeharto. Sedangkan pemilu masa reformasi adalah pemilu yang
diselenggarakan setelah rezim Soeharto runtuh yang diakibatkan oleh gerakan
mahasiswa tahun 1997-1998. Melihat catatan sejarah penyelenggaraan pemilu, maka
terlihat bahwa pemilu lebih banyak diadakan ketika masa orba dan masa
reformasi.
Seperti yang
kita ketahui bahwa pada masa orba dikenal juga dengan masa pemerintahan yang
otoriter, dimana sang penguasa yang duduk di eksekutif mempunyai peran penuh
terhadap kendali pemerintahan termasuk juga dalam sistem pemilu yang
dilaksanakan pada masa itu. Sedangkan masa reformasi dikenal juga dengan masa
kebebasan berpendapat, dan tentu saja juga berimplikasi pada sistem pemilihan
umum.
Berdasarkan
pemaparan tersebut, maka penulis tertarik hati untuk membandingkan penyelenggaraan
pemilihan umum pada masa orba dan masa reformasi. Adapun pertimbangan utama
penulis tertarik melakukan perbandingan ini yaitu, pertama penyelenggaraan
pemilu pada dua rezim ini merupakan penyelenggaraan pemilu terbanyak. Kedua,
masa orba dan masa reformasi mempunyai karakter yang bertolak belakang,
sehingga implikasi terhadap sistem pemilu juga berbeda.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
pemaparan yang telah penulis lakukan dimuka, maka rumusan masalah penelitian
ini adalah bagaimana perbandingan sistem pemilu legislatif pada masa orde baru
dan masa reformasi?
C.
Tujuan
Adapun tujuan
penelitian ini adalah untuk mengetahui perbandingan penyelenggaraan pemilu
legislatif pada masa orde baru dan masa reformasi.
D.
Konsep Teori
D.1. Definisi Pemilihan
Umum
Menurut Joseph
Schumpeter pemilu merupakan sebuah arena yang mewadahi kompetisi (kontestasi) antara
aktor-aktor politik yang meraih kekuasaan partisipasi politik rakyat untuk
menentukan pilihan serta liberalisasi hak-hak sipil dan politik warga negara
(dalam P. Anthonius Sitepu, 2012; 177). Sementara itu Ali Murtopo menyatakan
bahwa pemilu adalah sarana yang tersedia bagi rakyat untuk menjalankan
kedaulatannya dan merupakan lembaga demokrasi. Kemudian menurut Manuel Kaisepo
pemilu memang telah menjadi tradisi penting dalam berbagai sistem politik di
dunia, penting karena berfungsi memberi legitimasi atas kekuasaan yang ada dan
bagi rezim baru, dukungan dan legitimasi inilah yang dicari ( dalam Bismar
Arianto, 2011).
D.2. Sistem
Pemilihan Umum
Sistem pemilihan
umum secara sederhana adalah instrumen untuk menterjemahkan perolehan suara di
dalam pemilu ke dalam kursi-kursi yang dimenangkan oleh partai atau calon. Dalam
ilmu politik, sistem pemilihan umum (pemili) diartikan sebagai satu kumpulan
metoda atu cara warga masyarakat memilih para wakil mereka. Menurut Gafar,
manakala sebuah lembaga perwakilan (DPR, DPRD, dan DPD) dipilih, maka sistem
pemilihan menstransfer jumlah suara kedalam jumlah kursi (dalam P Anthonius
Sitepu, 2012; 180). Sistem pemilu secara umum dapat dibagi kedalam dua macam
yaitu sistem distrik dan sistem proporsional ( Kacung Marijan ; 2010; 83).
Sistem pemilihan
distrik adalah sistem dimana satu daerah pemilihan memilih satu wakil atau
dikenal juga dengan sebutan single member constituency. Sedangkan sistem
proporsional adalah sistem pemilihan dimana dari satu daerah pemilihan memilih
beberapa wakil atau dengan kata lain adalah multi member constituency.
Secara umum,
terdapat empat rumpun keluarga di dalam sistem pemilu, yaitu sistem pluralitas
atau mayoritas, sistem perwakilan proporsional, sistem campuran, dan
sistem-sistem yang lain. Di Indonesia sistem yang pertama lebih dikenal dengan
sistem distrik, karena transfer perolehan suara kedalam perolehan kursi lebih
didasarkan pada distrik atau daerah pemilihan.
Dalam rumpun
distrik, terdapat lima macam variasi sistem pemilu yaitu:
a. First
past the post ( FPTP)
Sistem ini menggunakan
single member district dan pemilihan yang berpusat pada calon. Pemenangnya
adalah calon yang memiliki suara terbanyak.
b. Two
round system (TRS)
Sistem ini memakai
putaran kedua sebagai landasan untuk menentukan pemenang pemilu, jika pada
putaran pertama tidak ada pemenang mayoritas.
c. The
alternative vote (AV)
Sistem ini sama dengan
FPTP, namun pemilih diberi kebebasan untuk menentukan preferensinya kepada
calon yang ada, calon preferensi terbanyak dari pemilih yang menjadi
pemenangnya.
d. Block
vote (BV)
Dalam sistem ini para
pemilih memiliki kebebasan untuk memilih calon-calon individu yang terdapat di
dalam daftar calon,tanpa melihat afiliasi partai dari calon-calon tersebut.
e. Party
block vote (PBV)
Sistem ini mempunyai
prinsip yang sama dengan BV, namun yang menjadi pijakan adalah daftar
partai-partai yang ada, bukan calon individu.
Rumpun kedua
adalah sistem proporsional. Dalam rumpun ini terdapat dua variasi dalam
pemilihan, yaitu:
a. List
proportional representation (ListPR)
Di dalam sistem ini
partai-partai peserta pemilu menunjukkan daftar calon yang diajukan. Para
pemilih cukup memilih partai. Alokasi kursi dari partai yang memperolehnya
didasarkan pada daftar urut yang sudah ada.
b. Single
transverable vote (STV)
Dalam sistem ini, para
pemilih diberi otoritas untuk menentukan preferensinya. Adapun pemenangnya
didasarkan pada penggunaan kuota.
Rumpun ketiga
adalah sistem campuran (mixed system). Dalam rumpun ini terdapat dua variasi
pemilihan, yaitu:
a. Mixed
member prortional (MMP)
Dalam sistem ini,
sistem proporsional dipakai sebagai upaya untuk memberi kompensasi pada adanya
disproporsionalitas yang dihasilkan oleh pembagian kursi berdasarkan distrik.
b. Parallel
system
Pada sistem ini, dua
sistem yaitu sistem PR dan distrik dijalankan bersama-sama. Tetapi proses
perhitungan suaranya berjalan sendiri-sendiri.
Selanjutnya
rumpun keempat terdiri dari:
a. Single
nontransferable vote (SNTV)
Pada sistem ini
penentuan pemenang di dalam multimember district ditentukan berdasarkan calaon-calon
(partai) yang memperoleh suara terbanyak.
b. Limited
vote (LV)
Dalam sistem ini para
pemilih memiliki suara lebih dari satu meskipun lebih kecil dari calon-calon
yang bisa dipilih.
c. Borda
count (BC)
Pada sistem ini bisa
menggunakan single member district maupun multimember district. Para pemilih
bisa memberikan preferensinya melalui nomor urut. Pemenang adalah calon yang
mempunyai preferensi tertinggi.
Tabel 1.1
Kelebihan dan
Kekurangan dari Sejumlah Sistem Pemilu
Sistem
Pemilu
|
Kelebihan
|
Kekurangan
|
List
Proportional
Representation |
· Proporsionalitas.
· Inklusivitas.
· Keterwakilan
minoritas.
· Sedikit
suara terbuang.
· Mudah
bagi perempuan terwakili.
· Tidak
(kurang) perlu adanya batas-batas.
· Mengurangi
tumbuhnya par-tai tunggal di suatu daerah.
· Memungkinkan
tingginya turnout (jumlah orang yang datan ke TPS)
|
· Lemah
dalam keterwakilan wilayah.
· Kurangnya
isu akuntabilitas.
· Cenderung
melemahnya duku-ngan legislatif kepada presiden di dalam sistem presidensial.
· Cenderung
munculnya peme-rintahan koalisi atau minoritas di dalam sistem parlementer.
· Banyak
kekuasaan yang diberikan kepada partai.
· Dapat
merangsang munculnya partai-partai ektrem atau eksklusif di legislatif.
· Tidak
mampu menyingkirkan partai dari kekuasaan
|
First
Past
the Post
|
· Kuat
dalam keterwakilan wilayah.
· Mudah
terdapatnya akun-tabilitas.
· Mudah dipahami.
· Menawarkan
pilihan yang jelas kepada pemilih.
· Mendorong
terjadinya opo-sisi yang koheren.
· Mengeluarkan
partai-partai ekstrem.
· Memungkinkan
pemilih me-milih calon-calon yang jelas.
· Dimungkinkannya
legislatif yang kuat di dalam men-dukung presiden di dalam sistem
presidensial.
· Dimungkinkan
adanya pe-merintahan mayoritas di
dalam sistem parlementer.
|
· Tersingkirnya
partai-partai minoritas.
· Tersingkirnya
kelompok-kelompok minoritas.
· Tersingkirnya
perempuan.
· Banyak
suara yang terbuang
|
Two-Round
System
|
· Adanya
kesempatan kepada pemilih untuk membuat pilihan kedua.
· Berkurangnya
suara yang terpecah kalau dibandingkan dengan sistem pluralitas/ mayoritas
lain.
· Mudah
dipahami.
· Kuat
dalam keterwakilan wilayah.
|
· Jarak
waktu yang lama antara hari pemilihan dan hasiil pemilihan.
· Munculnya
disproporsionali-tas.
· Memungkinkan
adanya sistem kepartaian yang ter-fragmentasi.
· Memungkinkan
adanya ketidakstabilan di dalam masyarakat yang benar-benar terbelah.
|
Parallel
System
|
· Inklusivitas.
· Keterwakilan
minoritas.
· Berkurangnya
fragmentasi sistem kepartaian daripada di dalam list PR.
· Mudahnya
dicapai kesepa-katan daripada alternatif- alternatif lain.
· Akuntabilitas.
· Sedikit
suara hilang.
|
· Adanya
sistem yang rumit.
· Dapat
menciptakan dua kelas di dalam perwakilan.
· Tidak
adanya jaminan bagi adanya proporsionalitas secara keseluruhan.
|
Mixed
Member
Proporsional
|
· Proporsionalitas.
· Inklusivitas.
· Keterwakilan
wilayah.
· Akuntabilitas.
· Sedikit
suara yang terbuang.
· Mudahnya
dicapai kesepa-katan daripada alternatif-alternatif lain.
|
· Adanya
sistem yang rumit.
· Dapat
menciptakan dua kelas di dalam perwakilan.
|
Sumber :
dalam Kacung Marijan 2010, hal 89-90
BAB II
PERBANDINGAN
PENYELENGGARAAN PEMILU LEGISLATIF
ERA ORDE BARU DAN ERA REFORMASI DI INDONESIA
Pemilihan umum
(pemilu) merupakan sebuah arena untuk membentuk demokrasi perwakilan serta
menggelar pergantian pemerintahan secara berkala. Indonesia sendiri sejak
kemerdekaannya telah melakukan pemilihan umum sebanyak 10 kali, dengan rincian
1 kali pada masa orde lama, 6 kali pada masa orde baru, dan 3 kali pada masa
reformasi. Pokok bahasan pada makalah ini akan membandingkan pada lima hal yang
berkaitan dengan penyelenggaraan pemilu legislatif era orde baru dan era
reformasi.
Peratama adalah dasar
hukum yang dipakai pada kedua era ini. Kedua adalah badan penyelenggara pemilu.
Ketiga adalah sistem pemilu yang dipakai untuk mengadakan pemilu. Keempat
adalah jumlah partai yang mengikuti. Dan yang terakhir adalah ketentuan memilih
dalam pemilu.
A.
Dasar Hukum
A.1. Masa Orde Baru
Seperti yang
telah dijelaskan dimuka bahwa masa orde baru telah dilakukan pemilihan umum
sebanyak enam kali, yaitu tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan tahun 1997.
Namun keenam penyelenggaraan pemilu tersebut mempunyai dasar hukum yang
berbeda, dikarenakan terjadinya perubahan dan penyesuaian terhadap
undang-undang pemilu pada masa itu.
Pada pemilu
tahun 1971, dasar hukum yang dipakai negara Indonesia adalah UU No 15 Tahun
1969 Tentang Pemilu. Kemudian pada pemilu tahun 1977, terjadi perubahan dasar
hukum dimana pada dasar hukum yang dipakai adalah UU No 4 Tahun 1975 tentang
Perubahan Atas UU No 15 Tahun 1969 Tentang Pemilihan Umum Anggota-anggota Badan
Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat. Sejak diberlakukannya UU No 4 Tahun 1975,
terjadi perbedaan yang signifikan dengan pemilu-pemilu sebelumnya yaitu jumlah
partai yang ikut lebih sedikit yaitu hanya dua partai dan satu organisasi
sosial. Hal ini dikarenakan Presiden Soeharto dan DPR pada masa itu
menyengajakan penyederhanaan partai politik dengan mengeluarkan UU No 3 Tahun
1975 Tentang Partai Politik dan Golkar.
Selanjutnya pada pemilu tahun 1982, dasar
hukum dalam penyelenggaraan pun berubah lagi, yaitu dengan menggunakan UU No 2
Tahun 1980 Tentang Perubahan Atas UU No 15 Tentang Pemilu Anggota-anggota Badan
Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat Sebagaimana Telah Diubah dengan UU No 4 Tahun
1975. Kemudian pada pemilu periode tahun 1987, 1992, dan 1997 dasar hukum yang
dipakai adalah UU No 1 Tahun 1985 Tentang Perubahan Atas UU No 15 Tentang
Pemilu Anggota-anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat Sebagaimana
Telah Diubah dengan UU No 3 Tahun 1975 dan UU No 2 Tahun 1980. Adapun perbedaan
yang mencolok dari berubahnya dasar hukum ini terlihat pada pasal 8 ayat (4b)
dimana panitia pengawas pemilihan umum terdiri dari satu orang ketua yang
merangkap menjadi anggota yang dijabat oleh pejabat pemerintah dan lima orang wakil yang juga merangkap
sebagai anggota. Dimana sebelumnya panitia pengawas pemilihan umum hanya
terdiri dari satu orang ketua dan satu orang wakil yang juga sama-sama
merangkap menjadi anggota dan juga berasal dari kalangan pejabat pemerintah.
Tabel
1.2
Dasar
Hukum Pemilu Legislatif Orde baru
No
|
Pemilu
|
Dasar
Hukum
|
Perubahan
|
1
|
1971
|
UU
No 15 Tahun 1969
|
-
|
2
|
1977
|
UU
No 4 Tahun 1975
|
Adanya penyederhanaan
partai peserta pemilu.
|
3
|
1982
|
UU
No 2 Tahun 1980
|
Adanya penambahan
anggota LPU dari unsur parpol, Golkar, dan ABRI. Serta pembentukan panitia
pengawas pemilu.
|
4
|
1987
|
UU
No 1 Tahun 1985
|
Adanya penambahan
jumlah wakil ketua panitia pengawas pemilu.
|
5
|
1992
|
UU
No 1 Tahun 1985
|
Adanya penambahan
jumlah wakil ketua panitia pengawas pemilu.
|
6
|
1997
|
UU
No 1 Tahun 1985
|
Adanya penambahan
jumlah wakil ketua panitia pengawas pemilu
|
Sumber
: Olahan Penulis
A.2. Masa
Reformasi
Tidak berbeda
jauh dengan masa orde baru, pemilu pada masa reformasi juga mengalami perubahan
dasar hukum. Hal ini terlihat jelas karena tiga kali pemilu yang diadakan pada
masa reformasi berlandaskan dasar hukum
yang berbeda.
Pada pemilu
pertama pasca runtuhnya orde baru, yaitu pemilu 1999 menggunakan dasar hukum UU
No 3 Tahun 1999 Tentang Pemilihan Umum. Kemudian pada pemilu tahun 2004, dasar
hukum yang dipakai adalah UU No 12 tahun 2003 Tentang Pemilu Anggota DPR, DPD,
dan DPRD. Selanjutnya pada pemilu tahun 2009, dasar hukum yang dipakai adalah
UU No 10 Tahun 2008 Tentang Pemilu
Anggota DPR, DPD, dan DPRD.
B.
Badan Penyelenggara
B.1. Masa Orde Baru
Badan
penyelenggara pada pemilu 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997 berdasarkan
empat UU yang berlaku pada masa itu yaitu, UU No 15 Tahun 1969, UU No 4 Tahun
1975, UU No 2 Tahun 1980, dan UU No 1 Tahun 1985. Berdasarkan dua UU yang
disebutkan pertama tersebut, badan penyelenggara pemilihan umum pada masa orde
baru disebut dengan Lembaga Pemilihan Umum (LPU) yang dibentuk oleh Presiden
dan diketuai oleh Menteri Dalam Negeri. Dimana ketua dan anggotanya semua
berasal dari kalangan pejabat pemerintahan.
Selanjutnya
pada pemilu 1982 yang berdasarkan pada UU No 2 Tahun 1982, badan penyelenggara
masih dengan LPU, namun terjadi sedikit perubahan dan penambahan. Merujuk pada
pasal 8 ayat (4a) dan (4b) UU No 2 Tahun 1980, perubahan tersebut berupa
keanggotaan LPU yang sebelumnya hanya dari kalangan pejabat pemerintah,
ditambahkan juga dari unsur partai politik, Golkar, dan Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia (ABRI). Kemudian pada UU ini juga terdapat penambahan
panitia pengawas pemilu di setiap tingkatan daerah pemilihan.
Kemudian pada UU
No 1 Tahun 1985 yang merupakan dasar dari pemilu 1987, 1992, dan 1997 juga
terjadi perubahan pada jumlah keanggotaan wakil ketua panitia pengawas pemilu.
Menurut UU ini jumlah keanggotaan wakil ketua yang sebelumnya 1 orang menjadi 5
orang.
Tabel 1.3
Perbandingan
Penyelenggara Pemilu Era Orde Baru
No
|
Pemilu
|
Penyelenggara
Pemilu
|
Keterangan
|
1
|
1971
|
LPU
|
Anggota LPU berasal
dari pejabat pemerintah.
|
2
|
1977
|
LPU
|
Anggota LPU berasal
dari pejabat pemerintah.
|
3
|
1982
|
LPU
|
Anggota LPU berasal
dari pejabat pemerintah, unsur partai politik, Golkar, dan ABRI.
|
4
|
1987
|
LPU
|
Anggota LPU berasal
dari pejabat pemerintah, unsur partai politik, Golkar, dan ABRI.
|
5
|
1992
|
LPU
|
Anggota LPU berasal
dari pejabat pemerintah, unsur partai politik, Golkar, dan ABRI.
|
6
|
1997
|
LPU
|
Anggota LPU berasal
dari pejabat pemerintah, unsur partai politik, Golkar, dan ABRI.
|
Sumber
: Olahan Penulis
B.2. Masa
Reformasi
Penyelenggaraan
pemilu legislatif tahun 1999 diatur melalui UU No 3 tahun 1999 tentang
Pemilihan Umum. Dalam UU ini organisasi penyelenggara pemilu diatur mulai dari
Bab III Tentang Penyelenggaraan dan Organisasi yaitu dari pasal 8 hingga pasal
23. Secara teknis pada pemilu legislatif tahun 1999 dilakukan oleh Komisi
Pemilihan Umum yang bebas dan mandiri, yang terdiri dari atas unsur-unsur
partai politik peserta pemilihan umum dan pemerintah, yang bertanggung jawab
kepada presiden.
Pemilu
legislatif 2004 berpedoman pada UU RI No 12 Tahun 2003 tentang Pemilu Anggota
DPR, DPD, dan DPRD. Pelaksana pemilu
diatur dalam Bab IV Penyelengara pemilihan Umum mulai dari pasal 15 hingga
pasal 45. Secara teknis yang menyelenggarakan pemilu adalah KPU yang bersifat
nasional, tetap, dan mandiri. Untuk tingkat pusat KPU berjumlah 11 orang
sementara di tingkat provinsi, kabupaten/kota berjumlah 5 orang.
UU No 10 tahun
2008 adalah landasn yuridis pelaksanaan pileg tahun 2009. Pengaturan
penyelenggara pemilu pada tahun 2009 diatur mulai dari pasal 9 yang berbunyi
pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD kabupaten/kota
diselenggarakan oleh KPU.
Tabel 1.4
Perbandingan
Penyelenggaraan Pemilu Era Reformasi
No
|
Pemilu
|
Penyelenggara
Pemilu
|
Keterangan
|
1
|
1999
|
KPU
|
Anggota KPU terdiri
dari unsur-unsur partai politik peserta pemilihan umum dan pemerintah
|
2
|
2004
|
KPU
|
Independen dan luar
unsur partai dan pemerintah
|
3
|
2009
|
KPU
|
Independen dan luar
unsur partai dan pemerintah
|
Sumber
:
Bismar Arianto, 2011
Dari penjelasan
singkat mengenai penyelenggara pemilu orde baru dan reformasi terlihat bahwa
penyelenggara pemilu pada Orde Baru Disebut
LPU, sementara pemilu pada masa reformasi disebut KPU. Dari sisi keanggotaan,
pemilu orde baru terlihat sangat dikekang oleh pemerintah, karena anggotanya
lebih banyak melibatkan pejabat pemerintah. Sementara penyelenggara pemilu masa
reformasi terutama pemilu 2004 dan 2009 terlihat lebih demokratis, hal ini
dikarenakan keanggotaan dari KPU bersifat independen dan diluar unsur partai dan
pemerintah.
C.
Sistem Pemilu
Pada masa orde
baru merujuk pada UU No 15 tahun 1969 tentang pemilihan umum, pengaturan
mengenai sistem pemilu yang dipakai diatur dalam Bab VIII tentang penetapan
hasil pemilu pasal 23 ayat 1. Dimana pemilihan legislatif orde baru menggunakan
sistem perwakilan berimbang (proposional) daftar tertutup dan hanya menggunakan
DP (district magnitude) propinsi saja.
Sementara itu
pada masa reformasi pemilhan umum legislatif tetap menggunakan sistem
proposional namun terjadi beberapa modifikasi. Pada pemilu tahun 1999 DP tidak
hanya terpaku pada propinsi, tetapi juga sudah memperhatikan kabupaten/kota.
Pada pemilu 2004, DP tidak lagi propinsi tetapi meliputi daerah yang lebih
kecil lagi, dimana masing-masing DP mendapat jatah 3 sampai 12 kursi. Sementara
pemilu 2009 besaran DP untuk DPR diperkecil antara 3 sampai 10 kursi. Pemilu
2004 dan 2009 juga telah menganut sistem proposional daftar terbuka. Namun
menurut Nico Harjanto ( dalam Kacung Marijan:2010:94-95) perubahan tersebut
tidak sepenuhnya terbuka, melainkan lebih kepada sistem proposional semi daftar
terbuka. Hal ini dikarenakan penentuan tentang siapa yang akan mewakili partai
di dalam perolehan kursi di DPR/D tidak didasarkan pada perolehan suara
terbanyak melainkan tetap berdasarkan nomor urut.
D.
Jumlah Partai
D.1. Masa Orde Baru
Pada pemilu
pertama masa orde baru, yaitu pada pemili 1971 jumlah partai yang mengikuti
pemilu sebanyak 10 partai. Sementara pada lima pemilu selanjutnya yaitu pemilu
1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997 peserta pemilu ditetapkan oleh pemerintah
hanya tiga, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Demokrasi
Indonesia (PDI), dan Golongan Karya (Golkar). Penetapan ini sengaja dibuat oleh
Presiden Soeharto melalui UU No 3 Tahun 1975 Tentang Partai Politik dan Golkar.
Dimana dalam UU ini yang dimaksud dengan parpol PPP dan PDI sementara
organisasi kekuatan sosial politik adalah Golkar. Adapun latar belakang
penyederhanaan ini karena adanya pandangan jumlah partai yang cukup banyak
merupakan faktor penting bagi munculnya ketidakstabilan politik yang pernah
terjadi.
D.2. Masa Reformasi
Berbeda dengan
masa orde baru, pada masa reformasi jumlah partai politik meningkat. Hal ini
diakarenakan dianutnya kembali sistem demokrasi di Indonesia. Seperti apa yang
dikatakan oleh Scarrow bahwa kemunculan partai-partai berbanding lurus dengan
tumbuhnya proses demokratisasi, khususnya yang berkaitan dengan kesamaan hak
antar warga negara.
Pada pemilu
1999, jumlah partai yang megikuti pemilihan legislatif berjumlah 48 partai politik.
Pada pemilu 2004 diikuti 24 partai politik, dan pemilu tahun 2009 diikuti 41
partai politik nasional dan 6 partai lokal di Aceh.
Dari penjelasan
perbandingan jumlah partai pada masa orde baru dan masa reformasi terlihat
bahwa pada masa orde baru partai peserta pemilu lebih sedikit dan dibatasi. Hal
ini dikarenakan adanya kebijakan Presiden Soeharto melalui UU No 3 Tahun 1975,
adan adanya pandangan bahwa sistem multipartai dapat mengganngu kestabilan
negara. Sementara itu pada masa reformasi jumlah partai politik pengikut pemilu
lebih banyak, hal ini dikarenakan dianutnya kembali keran demkrasi di
Indonesia.
E.
Ketentuan Memilih
E.1. Masa Orde Baru
Pada pemilu masa
orde baru, ketentuan cara memilih atau memberikan suara berdasar pada UU No 15
Tahun 1969 yang tercantum pada Bab VII Tentang Pemungutan Suara dan
Penghitungan Suara Pasal 21 ayat (6). Menurut ketentuan ini pemilih dapat
memberikan suara dengan mencoblos salah satu gambar peserta pemilu.
E.2. Masa
Reformasi
Pada pemilu masa
reformasi terjadi perubahan dalam memberikan suara kepada peserta pemilu. Pada
pemilu 1999, pemilih dapat memberikan suara dengan mencoblos lambang partai dan
memilih salah satu calon dari partai yang dipilih. Sementara pada pemilu tahun
2004 dan 2009 selain memilih partai dan calon partai, masyarakat juga memilih
anggota DPD yang dilakukan dengan mencoblos salah satu angggota DPD dalam surat
suara.
Tabel 1.5
Perbandingan
Ketentuan Pemberian Suara Masa Reformasi
No
|
Pemilu
|
Yang
Dipilih
|
Keterangan
|
1
|
1999
|
Memilih
anggota legislatif dari parpol
|
Mencoblos lambang
partai dan memilih salah satu calon dari partai yang dipilih
|
2
|
2004
|
Partai
politik dan perorangan
|
· Mencoblos
lambang partai dan memilih salah satu calon dari partai yang dipilih.
· Mencoblos
calon perseorangan
|
3
|
2009
|
Partai
politik dan perorangan
|
· Mencoblos
lambang partai dan memilih salah satu calon dari partai yang dipilih.
· Mencoblos
calon perseorangan
|
Sumber : Bismar Arianto, 2011
Dari penjelasan
mengenai ketentuan memilih pada masa orde baru dan masa reformasi terlihat
bahwa ada perbedaan. Dimana pada masa orde baru pemilh hanya bisa mencoblos
gambar partai, sementara masa reformasi pemilih selain mencoblos gambar partai
juga bisa mencoblos calon perseorangan.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari hasil studi
pustaka maka dapat disimpulkan perbandingan sistem pemilu masa orde baru dan
masa reformasi sebagai berikut:
1.
Pada masa orde baru terdapat empat UU
yang mengatur Pemilu, sementara pada pemilu reformasi terdapat tiga UU yang
mengatur tentang pemilu.
2.
Lembaga Penyelenggara pada pemilu Orba
menitikberatkan anggota pada pejabat pemerintah, sedangkan pemilu reformasi
anggota lebih independen bebas dari unsur partai dan pemerintah.
3.
Sistem pemilu pada pemilu orde baru
menganut sistem proposional tertutup, sementara pemilu reformasi dengan sistem
proposional terbuka.
4.
Jumlah partai peserta pemilu orde baru
ditentukan pemerintah, sementara pada masa reformasi lebih demokratis.
5.
Ketentuan memilih pada masa orde baru
hanya mencoblos gambar partai, sementara pemilu reformasi juga dapat memilih
calon perseorangan.
B.
Saran
Dengan adanya
perbandingan penyelenggaraan pemilu orde baru dan reformasi ini diharapakan
dapat memberikan gambaran agar pelaksanaan pemilu kedepan menjadi lebih baik.
DAFTAR
PUSTAKA
Arianto, Bismar. Perbandingan Penyelenggaraan Pemilihan Umum legislatif Era Reformasi Di
Indonesia. Jurnal Fisip Umrah Vol.2, No.2, 2011: 126-140.
Budiardjo,
Mirriam.2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Marijan, Kacung.2010. Sistem Politik Indonesia Konsolidasi
Demokrasi Pasca Orde Baru. Jakarta: Kencana.
Sitepu, P.Andrianus.2012.Studi Ilmu Politik.Yogyakarta: Graha
Ilmu.
Syafeii, Inu Kencana.2011.Sistem Pemerintahan Indonesia.Jakarta:
Rineka Cipta.
UU No 15 Tahun 1969 Tentang Pemilihan
Umum
UU No 4 Tahun 1975 tentang Perubahan
Atas UU No 15 Tahun 1969 Tentang Pemilihan Umum Anggota-anggota Badan
Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat
UU No 2 tahun 1980 Tentang Perubahan Atas UU No 15 Tentang
Pemilu Anggota-anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat Sebagaimana
Telah Diubah dengan UU No 4 Tahun 1975
UU No 1 Tahun 1985 Tentang Perubahan
Atas UU No 15 Tentang Pemilu Anggota-anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan
Rakyat Sebagaimana Telah Diubah dengan UU No 3 Tahun 1975 dan UU No 2 Tahun
1980
UU No 3 tahun 1999 Tentang Pemilihan Umum
UU No 12 tahun 2003 Tentang Pemilu
Anggota DPR, DPD, dan DPRD
UU No 10 tahun 2008 Tentang Pemilu
Anggota DPR, DPD, dan DPRD
Tidak ada komentar:
Posting Komentar